Bedasarkan Pasal 1 Angka 6 No. 39
Tahun 1999 yang disebut dengan pelanggaran HAM/ Hak Asasi Manusia setiap
perbuatan seseorang atau kelompok orang yang di dalamnya termasuk aparat
negara, maupuin bukan, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian
yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan ataupun mencabut hak
asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin atas UU dan tidak
mendapatkan ataupun dikhawatirkan tidak akan memperoleh suatu penyelesaian
hukum yang adil dan benar berdasarkan pada mekanisme hukum yang telah berlaku.
Ø Kasus pelanggaran HAM ini dapat dikategorikan
ke dalam dua jenis, yaitu :
a. Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :
- Pemukulan
- Penganiayaan
- Pencemaran nama baik
- Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya
- Menghilangkan nyawa orang lain
b. Kasus
pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :
- Pembunuhan masal (genosida)
- Pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan
- Penyiksaan
- Penghilangan orang secara paksa
- Perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis
Contoh kasus pelanggaran HAM (20 contoh kasus)
:
Tragedi Trisakti terjadi pada 12 Mei
1998. Peristiwa ini berkaitan dengan gerakan di era reformasi yang gencar
disuarakan di tahun 1998. Gerakan tersebut dipicu oleh krisis moneter dan
tindakan KKN presiden Soeharto, sehingga para mahasiswa kemudian melakukan demo
besar-besaran di berbagai wilayah yang kemudian berujung dengan bentrok antara
mahasiswa dengan aparat kepolisian.
Tragedi ini mengakibatkan (4
mahasiswa meninggal dan puluhan lainnya luka-luka). Tragedi Semanggi I terjadi
pada 11-13 November 1998 (17 orang warga sipil meninggal) dan tragedi Semanggi
II pada 24 September 1999 (1 orang mahasiswa meninggal dan 217 orang
luka-luka).
Kasus Marsinah terjadi pada 3-4 Mei
1993. Seorang pekerja dan aktivitas wanita PT Catur Putera Surya Porong, Jatim
Peristiwa ini berawal dari aksi
mogok yang dilakukan oleh Marsinah dan buruh PT CPS. Mereka menuntun kepastian
pada perusahaan yang telah melakukan PHK mereka tanpa alasan. Setelah aksi demo
tersebut, Marsinah malah ditemukan tewas 5 hari kemudian. Ia tewas di kawasan
hutan Wilangan, Nganjuk dalam kondisi mengenaskan dan diduga menjadi korban
pelanggaran HAM berupa penculikan, penganiayaan dan pembunuhan. Penyelidikan
masih belum menemukan titik terang hingga sekarang.
Peristiwa ini terjadi pada tahun
2002. Sebuah bom diledakkan di kawasan Legian Kuta, Bali oleh sekelompok
jaringan teroris.
Kepanikan sempat melanda di penjuru
Nusantara akibat peristiwa ini. Aksi bom bali ini juga banyak memicu tindakan
terorisme di kemudian hari.
Peristiwa bom bali menjadi salah
satu aksi terorisme terbesar di Indonesia. Akibat peristiwa ini, sebanyak
ratusan orang meninggal dunia, mulai dari turis asing hingga warga lokal yang
ada di sekitar lokasi.
Kasus tanjung Priok terjadi tahun
1984 antara aparat dengan warga sekitar yang berawal dari masalah SARA dan
unsur politis.
Peristiwa ini dipicu oleh warga
sekitar yang melakukan demonstrasi pada pemerintah dan aparat yang hendak
melakukan pemindahan makam keramat Mbah Priok. Para warga yang menolak dan
marah kemudian melakukan unjuk rasa, hingga memicu bentrok antara warga dengan
anggota polisi dan TNI.
Dalam peristiwa ini diduga terjadi pelanggaran HAM dimana
terdapat ratusan korban meninggal dunia akibat kekerasan dan penembakan.
5.
Kasus Penganiayaan Wartawan Udin
(1996)
Kasus penganiayaan dan terbunuhnya
Wartawan Udin (Fuad Muhammad Syafruddin)terjadi di yogyakarta 16 Agustus 1996.
Sebelum kejadian ini, Udin kerap
menulis artikel kritis tentang kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer. Ia
menjadi wartawan di Bernas sejak 1986. Udin adalah seorang wartawan dari harian
Bernas yang diduga diculik, dianiaya oleh orang tak dikenal dan akhirnya
ditemukan sudah tewas.
Pemberontakan di Aceh dikobarkan
oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk memperoleh kemerdekaan dari Indonesia
antara tahun 1976 hingga tahun 2005.
Kecenderungan sistem sentralistik
pemerintahan Soeharto, bersama dengan keluhan lain menyebabkan tokoh masyarakat
Aceh Hasan di Tiro untuk membentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 4
Desember 1976 dan mendeklarasikan kemerdekaan Aceh.
Wakil Panglima GAM Wilayah Pase
Akhmad Kandang (alm) pernah mengklaim, jumlah personel GAM 70 ribu. Anggota GAM
490 ribu. Jumlah itu termasuk jumlah korban DOM 6.169 orang.
Konflik antara pemerintah dan GAM
yang diakibatkan perbedaan keinginan ini telah berlangsung sejak tahun 1976 dan
menyebabkan jatuhnya hampir sekitar 15,000 jiwa.
7. Penculikan
aktivis 1997/1998
8. PELANGGARAN
HAM DI TIMOR-TIMUR (1974-1999).
9. Kerusuhan
Ambon/Maluku (1999)
10. Konflik Berdarah Poso (1998)
adalah peristiwa penghilangan orang secara
paksa atau penculikan terhadap para aktivis pro-demokrasi yang terjadi
menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1997 dan Sidang Umum
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1998 Jakarta Selatan.
Peristiwa penculikan ini dipastikan
berlangsung dalam tiga tahap: Menjelang pemilu Mei 1997, dalam waktu dua bulan
menjelang sidang MPR bulan Maret, sembilan di antara mereka yang diculik selama
periode kedua dilepas dari kurungan dan muncul kembali. Beberapa di antara
mereka berbicara secara terbuka mengenai pengalaman mereka. Tapi tak satu pun
dari mereka yang diculik pada periode pertama dan ketiga muncul.[1]Selama
periode 1997/1998, KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan) mencatat 23 orang telah dihilangkan oleh alat-alat negara. Dari
angka itu, 1 orang ditemukan meninggal (Leonardus Gilang), 9 orang dilepaskan
penculiknya, dan 13 lainnya masih hilang hingga hari ini.
Timor Leste adalah negara baru yang berdiri
secara resmi berdasarkan jajak pendapat tahun 1999. Dulunya, ketika masih
tergabung dengan Republik Indonesia bernama Timor Timur, propinsi ke-27.
Pemisahan diri Timor Timur memang diwarnai dengan suatu tindak kekerasan berupa
pembakaran yang dilakukan oleh milisi yang kecewa dengan hasil referendum.
Disebutkan telah terjadi pembantaian terhadap
102.800 warga Timor Timur dalam kurun waktu 24 tahun, yakni ketika Timtim masih
tergabung dengan Indonesia (1974-1999). Sekitar 85 persen dari pelanggaran HAM,
menurut laporan CAVR, dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia.
Kerusuhan Ambon (Maluku) yang terjadi sejak
bulan Januari 1999 hingga saat ini telah memasuki periode kedua, yang telah
menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang cukup besar serta telah membawah penderitaan
dalam bentuk kemiskinan dan kemelaratan bagi rakyat di Maluku pada umumnya dan
kota Ambon pada khususnya.
Peristiwa kerusuhan di Ambon (Maluku) diawali
dengan terjadinya perkelahian antara salah seorang pemuda Kristen asal Ambon
yang bernama J.L, yang sehari-hari bekerja sebagai sopir angkot dengan seorang
pemuda Islam asal Bugis, NS, penganggur yang sering mabuk-mabukan dan sering
melakukan pemalakan (istilah Ambon "patah" ) khususnya terhadap
setiap sopir angkot yang melewati jalur Pasar Mardika – Batu Merah.
TENTANG PERKEMBANGAN TERAKHIR KONFLIK DI AMBON
menurut badan pekerja kontras (komisi yang menangani kasus orang hilang dan
korban tindak kekerasan) Sampai saat ininja kotaumlah korban yang kami terima
berjumlah tidak kurang 1.349 korban tewas, 273 luka parah serta 321 luka
ringan.
Awal konflik
Poso terjadi setelah pemilihan bupati pada desember 1998. Ada sintimen
keagamaan yang melatarbelakangi pemilihan tersebut.
Kalau dilihat dari konteks agama, Poso terbagi
menjadi dua kelomok agama besar, Islam dan Kristen. Sebelum pemekaran,
Poso didominasi oleh agama Islam, namun setelah mengalami pemekaran menjadi
Morowali dan Tojo Una Una, maka yang mendominasi adala agama Kristen. Selain
itu masih banyak dijumpai penganut agama-agama yang berbasis kesukuan, terutama
di daerah-daerah pedalaman. Islam dalam hal ini masuk ke Sulawesi, dan
terkhusus Poso, terlebih dahulu. Baru kemudian disusul Kristen masuk ke Poso.
Keberagaman ini lah yang menjadi salah satu
pemantik seringnya terjadi pelbagai kerusuhan yang terjadi di Poso. Baik itu
kerusuhan yang berlatar belakang sosial-budaya, ataupun kerusuhan yang
berlatarbelakang agama, seperti yang diklaim saat kerusuhan Poso tahun 1998 dan
kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah menjai kendaraan dan alasan tendesius
untuk kepentingan masing-masing.
11. Pembantaiaan Rawagede (1947)
Peristiwa ini merupakan pelanggaran
HAM berupa penembakan beserta pembunuhan terhadap penduduk kampung Rawagede
(sekarang Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang, Jawa Barat) oleh tentara
Belanda pada tanggal 9 Desember 1947 diringi dengan dilakukannya Agresi Militer
Belanda I. Puluhan warga sipil terbunuh oleh tentara Belanda yang kebanyakan
dibunuh tanpa alasan yang jelas. Pada 14 September 2011, Pengadilan Den Haag
menyatakan bahwa pemerintah Belanda bersalah dan harus bertanggung jawab.
Pemerintah Belanda harus membayar ganti rugi kepada para keluarga korban
pembantaian Rawagede.
Diantara tahun 1982-1985, peristiwa
ini mulai terjadi. ‘Petrus’ adalah sebuah peristiwa penculikan, penganiayaan
dan penembakan terhadap para preman yang sering menganggu ketertiban
masyarakat. Pelakunya tidak diketahui siapa, namun kemungkinan pelakunya adalah
aparat kepolisian yang menyamar (tidak memakai seragam). Kasus ini termasuk
pelanggaran HAM, karena banyaknya korban Petrus yang meninggal karena ditembak.
Kebanyakan korban Petrus ditemukan meninggal dengan keadaan tangan dan lehernya
diikat dan dibuang di kebun, hutan dan lain-lain. Terhitung, ratusan orang yang
menjadi korban Petrus, kebanyakan tewas karena ditembak.
Kasus ini masuk dalam catatan kasus
pelanggaran HAM di Indonesia, yaitu pembantaian yang dilakukan oleh militer
atau anggota TNI dengan menembak warga sipil di Pemakaman Santa Cruz, Dili,
Timor-Timur pada tanggal 12 November 1991.
Kebanyakan warga sipil yang sedang
menghadiri pemakaman rekannya di Pemakaman Santa Cruz ditembak oleh anggota
militer Indonesia. Puluhan demonstran yang kebanyakkan mahasiswa dan warga
sipil mengalami luka-luka dan bahkan ada yang meninggal.
Banyak orang menilai bahwa kasus ini
murni pembunuhan yang dilakukan oleh anggota TNI dengan melakukan agresi ke
Dili, dan merupakan aksi untuk menyatakan Timor-Timur ingin keluar dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan membentuk negara sendiri.
Peristiwa ini disebabkan oleh para
pendukung Megawati Soekarno Putri yang menyerbu dan mengambil alih kantor DPP
PDI di Jakarta Pusat pada tanggal 27 Juli 1996.
Massa mulai melempari dengan batu
dan bentrok, ditambah lagi kepolisian dan anggota TNI dan ABRI datang berserta
Pansernya. Kerusuhan meluas sampai ke jalan-jalan, massa mulai merusak bangunan
dan rambu-rambu lalu-lintas.
Dikabarkan lima orang meninggal
dunia, puluhan orang (sipil maupun aparat) mengalami luka-luka dan sebagian
ditahan. Menurut Komnas Hak Asasi Manusia, dalam peristiwa ini telah terbukti
terjadinya pelanggaran HAM.
Peristiwa beserta pembunuhan ini
terjadi pada tahun 1998. Pada saat itu di Banyuwangi lagi hangat-hangatnya
terjadi praktek dukun santet di desa-desa mereka. Warga sekitar yang berjumlah
banyak mulai melakukan kerusuhan berupa penangkapan dan pembunuhan terhadap
orang yang dituduh sebagai dukun santet. Sejumlah orang yang dituduh dukun
santet dibunuh, ada yang dipancung, dibacok bahkan dibakar hidup-hidup. Tentu
saja polisi bersama anggota TNI dan ABRI tidak tinggal diam, mereka menyelamatkan
orang yang dituduh dukun santet yang masih selamat dari amukan warga.
Pembantaian ini merupakan peristiwa
pembunuhan dan penyiksaan terhadap orang yang dituduh sebagai anggota komunis
di Indonesia yang pada saat itu Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi salah
satu partai komunis terbesar di dunia dengan anggotanya yang berjumlah jutaan.
Pihak militer mulai melakukan operasi dengan menangkap anggota komunis,
menyiksa dan membunuh mereka. Sebagian banyak orang berpendapat bahwa Soeharto
diduga kuat menjadi dalang dibalik pembantaian 1965 ini. Dikabarkan sekitar
satu juta setengah anggota komunis meninggal dan sebagian menghilang. Ini jelas
murni terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Kasus Bulukumba merupakan kasus yang
terjadi pada tahun 2003.
Dilatar belakangi oleh PT. London
Sumatra (Lonsum) yang melakukan perluasan area perkebunan, namun upaya ini
ditolak oleh warga sekitar. Polisi Tembak Warga di Bulukumba. Anggota Brigade Mobil
Kepolisian Resor Bulukumba, Sulawesi Selatan, dilaporkan menembak seorang warga
Desa Bonto Biraeng, Kecamatan Kajang, Bulukumba, Senin (3 Oktober 2011) sekitar
pukul 17.00 Wita. Ansu, warga yang tertembak tersebut, ditembak di bagian
punggung. Warga Kajang sejak lama menuntut PT London mengembalikan tanah
mereka.
Peristiwa ini terjadi di Abepura,
Papua pada tahun 2003. Terjadi akibat penyisiran yang membabi buta terhadap
pelaku yang diduga menyerang Mapolsek Abepura. Komnas HAM menyimpulkan bahwa
telah terjadi pelanggaran HAM di peristiwa Abepura.
Kampung Bayur Opak RT 03/06, Desa Lebak Wangi,
Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang, terkuak setelah dua buruh yang
bekerja di pabrik itu berhasil melarikan diri. Andi Gunawan (20 tahun) dan
Junaidi (22) kabur setelah tiga bulan dipekerjakan dengan tidak layak. Dalam
waktu enam bulan dia bekerja di pabrik milik Juki Hidayat itu, tidak
sepeser pun uang yang diterima para buruh.
Setiap hari, para buruh harus bekerja lebih
dari 12 jam untuk membuat 200 panci. Jika tidak mencapai target, lanjutnya, para
pekerja akan disiksa dan dipukul. Para pekerja yang rata-rata berumur 17 hingga
24 tahun ini hanya memiliki satu baju yang melekat di tubuh, karena
menurutnya baju, ponsel dan uang yang mereka bawa dari kampung
disita oleh sang majikan ketika baru tiba di pabrik tersebut. Para pekerja
diiming-imingi mendapat gaji Rp 600 ribu per bulannya. Kondisi bangunan
di sana sangat memprihatinkan, tidak layak untuk ditiduri. Para pekerja
sering diancam oleh mandor-mandor dan bos Juki, akan dipukuli sampai mati, mayatnya
langsung mau dibuang di laut kalau jika macam-macam di sana.
Di Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, OKI,
Sumsel, pertikaian warga dan perusahaan sawit telah menelan sejumlah korban
jiwa. Konflik dipicu dari bermasalahnya kerjasama plasma antara warga desa
denagn perusahaan perkebunan sawit.
Bermula dari kesepakatan warga desa Sungai
Sodong, Mesuji dengan pihak perusahaan PT. Treekreasi Margamulya (TM/ Sumber
Wangi Alam (SWA), pada awal 1997, untuk pembangunan kebun plasma. Masyarakat
mendukung niatan perusahaan itu, karena bermanfaat untuk ekonomi mereka.Dari
sini kerjasama berjalan lancar tanpa ada masalah. Baru 5 tahun kemudian muncul
persoalan. Hal itu bermula dari niatan perusahaan sawit itu yang mengajukan
usulan pembatalan plasma.
Dipicu tindakan perusahaan ini Korbanpun
berjatuhan dari beberapa pihak keamanan maupun warga.
sumber : pusathukum.blogspot.com
sumber : pusathukum.blogspot.com
No comments:
Post a Comment