Materi
1: Definisi Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
Ilmu
Pengetahuan Sosial atau yang lebih familiar disebut IPS, pada studi di negara
lain disebut social studies dan social science education,
merupakan suatu program pendidikan yang mengintegrasikan dan mensederhanakan
konsep ilmu-ilmu sosial yang tepat dan berguna untuk tujuan pendidikan,
diperuntukkan sebagai pembelajaran pada tingkat persekolahan (Sapriya, 2009).
Tujuan
pendidikan di sini adalah untuk mengusahakan agar konsep ilmu-ilmu sosial
menjadi materi yang dapat disederhanakan (Barr & Shermis, 1977) dan
dipahami untuk anak pada tingkat SD/MI, untuk dapat diterapkan dalam kehidupan
keseharian mereka. IPS menggunakan penyederhanaan bahan dan adaptasi serta
seleksi dari ilmu-ilmu sosial untuk mempelajari manusia dalam masyarakat,
manusia dalam hubungan dengan lingkungannya, baik pada masa lalu, masa kini,
dan masa yang akan datang.
National
Council for Social Studies (NCSS) yang pada tahun 1921
berdiri sebagai organisasi yang fokus mengembangkan social studies untuk
Pendidikan, khususnya tingkat dasar dan menengah, mendefinisikan social
studies (Armstrong, 1996) sebagai berikut:
Social
studies is the integrated study of the social sciences and humanities to
promote civic competence. Within the school program, social studies provides
coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology,
archeology, economics, geography, history, law, philosophy, political sciences,
psycology, religion, and siciology, as well as appropriate content from the
humanities, mathematics, and natural sciences.
IPS
merupakan bidang kajian yang memadukan sejumlah konsep penting dan tertentu
dari ilmu-ilmu sosial, seperti Sosiologi, Sejarah, Geografi, Ekonomi,
Antropologi, Politik, Hukum, Budaya, dan Agama serta ilmu lainnya (Trianto,
2010), kemudian diolah berdasarkan prinsip-prinsip pendidikan atas dasar
kenyataan dan fenomena sosial diwujudkan dengan pendekatan interdisipliner dan
terpadu. Pada hakikatnya IPS merupakan penyederhanaan terhadap konsep-konsep
ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang dijadikan
kajian secara sistematis, ilmiah dan pedagogis untuk tujuan pendidikan”
(Udin
S. Winataputra, 2011).
Melalui
IPS, siswa diharapkan memperoleh pengetahuan dan wawasan tentang konsep-konsep
dasar ilmu sosial yang telah disederhanakan, sehingga secara kognitif, afektif,
dan psikomotrik dapat membangun kesadaran dan kepekaaan terhadap permasalahan
sosial di kehidupannya, sehingga mampu memecahkan persolaan tersebut melalui
kajian dan keterampilan yang diperolehnya.
Pada
tingkat Pendidikan Dasar, materi yang disajikan dalam mata pelajaran IPS lebih
menuntut kepada dimensi pedagogik dan psikologis serta kemampuan berpikir siswa
secara holistik untuk menjadikan mereka sebagai warga negara yang baik dan
mampu survive dengan kondisi sosial masyarakat serta lingkungannya.
Materi
2: Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) pada Kurikulum di
Indonesia
Sejarah
perkembangan IPS dapat kita bagi ke dalam tiga fase:
1.
Fase Diskursus
Istilah
yang digunakan dalam bidang ini adalah social studies yang kemudian
istilah tersebut juga digunakan menjadi nama sebuah lembaga yang bernama Committee
of Social Studies (CSS) pada tahun 1913. Pada fase ini sekitar tahun 1935,
terjadi diskursus para intelektual di Amerika Serikat terkait pertumbuhan dan
tantangan agar social studies dapat menjadi suatu disiplin ilmu yang
solid. Pada tahun 1940-1950, National Council for The Social Studies (NCSS)
memunculkan sikap penekanan terhadap fakta-fakta sejarah dan budaya sebagai
bagian hasil diskursus yang terjadi terhadap perlu tidaknya anak remaja
bersikap demokratis dan kritis. Pada titik ini, ada dua diskursus tentang social
studies, yaitu citizenship education atau social studies
education. Diskursus ini terjadi dikarekanan adanya dua pihak yang
mempunyai pandangan berbeda terhadap visi social studies.
Pada
rentang tahun 1940 sd 1960an, ada dua gerakan terhadap visi social studies,
yang pertama adalah gerakan mengintegrasikan disiplin ilmu-ilmu sosial dan yang
ke dua gerakan untuk bertahan pada masingmasing disiplin ilmu sosial. Sekitar
tahun 1955 terobosan besar dilakukan oleh Maurice Hunt dan Lawrence Metcalft
yang berusaha mengintegrasikan antara citizenship education dan social
studies education, dengan membuka sudut pandang baru terhadap hal yang
bersifat closed area atau istilah yang masih tabu di masyarakat menjadi open
area dalam konteks refleksi rasional dalam upaya agar siswa dapat mengambil
sikap dan keputusan terhadap permasalah publik (reflectif thinking &
critical thinking).
Pada
tahun 1960an, muncul gerakan akademis yang memunculkan istilah the new
social studies, diprakarsai oleh sejarawan dan ahli ilmu sosial dalam
usaha mengembangkan kurikulum dan bahan ajar yang inovatif dan berskala besar,
namun gerakan ini belum berhail sampai tahun 1970an, namun perlu ditekankan,
gerakan ini berhasil meningkatkan social studies ke higher level of
intellectual pursuit (Barr et al, 1977) yang melahirkan era pembelajaran social
science education, walaupun secara substantif belum efektif dalam perubahan
sikap siswa, dalam hal ini adalah sikap demokratis.
Pada
era pembelajaran social science education, para ahli ilmu sosial dan
sejarah banyak terpengaruh pemikiran Jerome Bruner yang mengatakan “any
subject can be taught effectively in some intellectually honest form to any
child at any stage of development (Barr et al, 1977
dalam Udin S. Winataputra, 2011), yang menyatakan bahwa setiap subject (materi)
dapat diajarkan pada tingkat usia anak.
Pada
akhirnya, mereka bersepakat untuk mengembangkan social studies dengan
perspektif dari Jerome Bruner yang meyakini semua teori dapat diajarkan kepada
semua tingkatan usia anak. Akan tetapi, pendapat Jerome Bruner dirasa sulit
diterapkan di lapangan, walaupun mereka sudah bekerjasama dengan para pendidik
dan ahli psikologi dalam mengembangkannya, akan tetapi pada akhirnya pendapat
tersebut kembali memunculkan gerakan agar disiplin ilmu sosial diajarkan secara
mandiri.
Kemudian
konsorsium para ahli ilmu-ilmu sosial yang bernama The Social Science
Education Consortium, menghasilkan dan menerbitkan sebuah buku berjudul Concept
and Structures in The New Social Studies Curriculum. Mereka para ahli tersebut
bersepakat tentang the fundamental concepts and generalizations of a
discipline, and the methods, procedures, and
models necessary to develop and revise these fundamentals”.
Pendapat
tersebut meyakini bahwa struktur disiplin akademis memiliki dua komponen yang
menjadi rancangan bahan belajar social studies pada pembelajaran di
sekolah, yaitu untuk menguasi konsep dan penggunaan metode inkuiri pada materi
sejarah dan ilmu-ilmu sosial untuk menggeneralisasi pengetahuan (Barr, 1977,
dalam Udin S. Winataputra, 2011).
Tahun
1994, para Dewan National Council for The Social Studies (NCSS)
menerbitkan sebuah dokumen yang bernama Expextations of Excellence:
Curriculum Standar for the Social Studies, yang kemudian menjadi dasar
perkembangan social studies di USA khususnya sampai sekarang. Dalam
dokumen tersebut, dinyatakan bahwa penekanan social studies pada tingkat
Pendidikan terhadap keterpaduan knowledge, skills, and attitudes within and
across dicipliner, dan pada kelas rendah dibangun berdasarkan tema-tema
tertentu.
2.
Fase Interaksi
Program
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I tahun 1969-1974 tim ahli dalam
rumusan Pendidikan Nasional menemukan 5 problem:
a. Kuantitas.
Kuantitas yang berarti terkait dengan permasalahan perluasan dan pemerataan
kesempatan semua warga untuk mendapatkan akses Pendidikan dan belajar;
b. Kualitas.
Kualitas yang berarti permasalahan pada mutu lulusan dan bagaimana
meningkatkannya;
c. Relevansi.
Relevansi yang berarti adanya keselarasan antara sistem pada Pendidikan dengan
kebutuhan pada pembangunan;
d. Efektifitas.
Efektifitas yang berarti bagaima sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan
sumber daya dan dana, agar kuantitas, kualitas, dan relevansi bisa berjalan dan
tercapai;
e. Kaderirasi.
Pembinaan generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga produktif bagi
kepentingan pembangunan nasional.
Selain
itu, ramainya diskursus terhadap social studies yang terjadi di USA,
berimbas kepada munculnya gerakan dan pemikiran para ahli Pendidikan di
Indonesia tentang urgensi social studies pada kurikulum Pendidikan di
Indonesia. Pada Seminar Nasional di Tawamangu tahun 1972, istilah IPS muncul
pertama kali dan menjadi wacana yang menghasilkan beberapa istilah yaitu:
a.
Pengetahuan Sosial (Social Science);
b.
Studi Sosial (Social Studies);
c.
Ilmu Pengetahuan Sosial (Social Science Education).
3.
Fase Perkembangan
Fase
ini lebih menekankan penerapan mata pelajaran IPS di kurikulum Indonesia dari
tahun ke tahun sampai dengan kurikulum 2013 sebagai the new curriculum.
Pada tahun 1972-1973, IPS pertama kali diujicobakan pada Kurikulum Proyek
Perintis Sekolah Pembangunan (PSSP) IKIP Bandung. Pada tahun 1975, IPS yang
pada awalnya mencakup sejarah dan geografi dirasa tidak efektif dalam membentuk
sikap kritis dan sosial siswa, sehingga perlu adanya reduksi mata pelajaran
ilmuilmu sosial yang serumpun, dintegrasikan ke dalam mata pelajaran IPS
sehingga menjadi terpadu. Pada kurikulum 1975 secara resmi dapat dikatakan
sebagai kelahiran IPS pada kurikulum Indonesia. Pada kurikulum 1975 konsep
Pendidikan IPS menampilkan 4 profil yaitu:
a.
Pendidikan IPS Khusus, yaitu Pendidikan Moral Pancasila (PMP) menggantikan mata
pelajaran Kewargaan Negara.
b.
Pendidikan IPS terpadu untuk tingkat Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah.
c.
Pendidikan IPS untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMA) sebagai konfederasi
Sejarah, Geografi, dan Ekonomi Koperasi.
d.
Pendidikan IPS untuk tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) yang diajarkan berdasarkan
disiplin ilmu-ilmu sosial seperti Sejarah dan Geografi untuk Sekolah Pendidikan
Guru (SPG), Ekonomi dan Sejarah untuk tingkat SMEA/SMK.
Pada
kurikulum 1984 sampai dengan kurikulum 2013 IPS secara konseptual tetap pada
penyederhanaan dari ilmu-ilmu sosial untuk tujuan paedagogis, dan pada
kurikulum terbaru IPS hanya disajikan pada kelas 4
6
Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah secara tematik terpadu.
Materi
3: Tujuan Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
Pendidikan
IPS bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang baik
dalam kehidupannya sebagai bagian dari masyarakat (Trianto, 2010), dan
mengembangkan kemampuan peserta didik dalam upaya berpikir kritis pada setiap
keputusan dan kepekaan (Supardi, 2011) terhadap permasalahan sosial yang
dihadapi.
Tujuan
lain IPS menurut Chapin & Messick (dalam Ichas Lamri, 2006) dapat
diidentifikasi sebagai berikut:
a.
Membina pengetahuan siswa tentang pengalaman manusia dalam kehidupan
bermasyarakat pada masa lalu, sekarang, dan dimasa yang akan datang.
b.
Menolong siswa untuk mengembangkan ketrampilan (skill) untuk mencari dan
mengolah atau memproses informasi.
c.
Menolong siswa untuk mengembangkan nilai atau sikap (value) demokrasi
dalam kehidupan bermasyarakat.
d.
Menyediakan kesempatan kepada siswa untuk mengambil bagian atau berperan serta
dalam kehidupan sosial. Etin Solihatin & Raharjo (2011) menyatakan IPS
bertujuan untuk mendidik dan memberi bekal kemampuan dasar pada siswa untuk
mengembangkan diri sesuai dengan bakat, minat, kemampuan dan lingkungannya,
serta sebagai bekal bagi siswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi”.
Sedangkan menurut Hasan (dalam Nana Supriatna, 2007) tujuan
pembelajaran IPS dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu:
a.
Pengembangan kemampuan intelektual siswa;
b.
Pengembangan kemampuan dan rasa tanggung jawab sebagai anggota masyarakat dan
bangsa;
c.
Serta pengembangan diri siswa sebagai pribadi.
Terkait
dalam pembelajaran IPS SD/MI baik kurikulum KTSP dan K13, IPS memiliki tujuan
agar peserta didik memiliki kemampuan (Sapriya, 2009) sebagai berikut:
a.
Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan
lingkungannya;
b.
Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu,
inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial;
c.
Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial kemanusiaan;
d.
Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama, dan berkompetisi dalam
masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, maupun global.
Selain
itu tujuan lain dari pembelajaran IPS tidak lain agar siswa memiliki kemampuan
berkomunikasi, bekerjasama, kemampuan akademik, komitmen dan bertanggung jawab,
kesadaran terhadap nilai-nilai sosial kemanusiaan serta lingkungan, kemampuan
memecahkan suatu permasalahan, baik berupa masalah interpersonal maupun masalah
personal yang berkaitan dengan kehidupan sosialnya.
Penekanan
IPS tertuju pada aspek Pendidikan (Taksonomi) daripada transfer konsep-konsep
ilmu sosial, hal ini dikarenakan dalam pembelajaran IPS, siswa diharapkan dapat
membangun generalisasi dari berbagai fakta dan konsep-konsep ilmu sosial yang
mereka terima sehingga dapat membangun sikap, nilai, dan moral, serta
keterampilan yang menjadi tujuan dari pembelajaran IPS.
Pendidikan
IPS mencoba untuk menghasilkan warga Negara yang baik, reflektif, mampu atau
terampil dan peduli. Reflektif adalah dapat berpikir kritis dan mampu
memecahkan masalah berdasarkan sudut pandangnya dan berdasarkan nilai, dan
moral yang dibentuk oleh dirinya serta lingkungannya. Terampil dapat diartikan
mampu mengambil keputusan dalam memecahkan masalah. Peduli adalah mampu atau
peka terhadap kehidupan sosial dan melaksanakan hak serta kewajibannya di
masyarakat. Waterwroth, (2007) menyebutkan bahwa tujuan dari social studies (IPS)
adalah untuk mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang baik dalam
kehidupannya di masyarakat demokratis, dimana secara tegas ia mengatakan "to
prepare students to be well-functioning citizens in a democratic society".
Tujuan
mata pelajaran IPS ditetapkan sebagai berikut: 1. Mengenal konsep-konsep yang
berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya;
2.
Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu,
inkuri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial;
3.
Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan;
4.
Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat
yang majemuk, di tingkat lokal, nasional dan global (Sapriya, 2009).
Hubungan
manusia dan lingkungannya juga menjadi aspek pembahasan dalam pembelajaran IPS.
Lingkungan para siswa tumbuh dan bermasyarakat, dengan berbagai problem sosial
yang mereka hadapi. Dari problem sosial yang mereka temui dan hadapi,
pembelajaran IPS diharapkan membantu mereka mengembangkan keterampilan sebagai
kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa dalam upaya mereka memecahkan
masalah, baik masalah yang ada pada lingkup diri sendiri sampai masalah yang
kompleks sekalipun dengan difokuskan pemberikan bekal keterampilan memecahkan
masalah yang dihadapi oleh siswa (Supardi, 2011).
Materi
4: Karakteristik Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
IPS
memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut: 1. Perpaduan dari konsep
ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan, dalam konteks pendidikan Islam maka
pengintegrasian dengan nilai-nilai Islam menjadi suatu keharusan;
2.
IPS berusaha untuk mengkonversi teori, konsep, dengan fakta atau sebaliknya;
3.
IPS menggunakan pendekatan interdisipliner (multidisipliner) dengan
pembelajaran terpadu;
4.
Model inquiry dan discovery diutamakan untuk membantu peran siswa
agar mampu berpikir kritis, rasional, dan analitik;
5.
IPS menekankan kepada penghayatan nilai-nilai kemanusiaan;
6.
Menggunakan seluruh taksonomi pembelajaran;
7.
Berusaha menyajikan sedekat mungkin dengan permasalahan sosial di sekitar
kehidupan siswa (Sapriya, 2009);
8.
Kompetensi Dasar IPS SD/MI berasal dari struktur keilmuan Geografi, Sejarah,
Ekonomi, Sosiologi, Antroplogi, dan Politik (tidak mengambil bagian dari mata
pelajaran PPKn) yang dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi pokok bahasan
atau topik (tema) tertentu;
9.
Kompentesi Dasar IPS dapat menyangkut peristiwa dan perubahan kehidupan
masyarakat dengan prinsip sebab akibat, kewilayahan, adaptasi dan pengelolaan
lingkungan, struktur, proses, dan masalah sosial serta upaya-upaya perjuangan
hidup agar survive seperti pemenuhan kebutuhan, kekuasaan, keadilan dan
jaminan keamanan (Kemendikbud).
No comments:
Post a Comment